Perlukah Tolak Sedotan Plastik?
Belakangan ini, sedang ramai kampanye untuk mengurangi pemakaian sedotan plastik. Di beberapa tempat seperti California, sedotan plastik dilarang atau dibatasi penggunaanya. Starbucks, Disney serta beberapa perusahaan yang lain berjanji untuk mengurangi penggunaan sedotan plastik. Sedotan plastik itu bisa digantikan dengan sedotan kertas atau bahkan memang tidak menggunakan sedotan sama sekali. Di Indonesia sendiri sedang marak terjadi penggantian sedotan plastik dengan sedotan stainless steel yang diklaim lebih ramah lingkungan.
Trend yang sedang terjadi ini diakibatkan kesadaran masyarakat akibat bahaya dari sampah plastik. Karena seperti yang kita tahu, butuh ribuan tahun agar limbah plastik dapat terurai. Limbah plastik ini banyak mencemari lingkungan kita, salah satunya laut. Plastik yang tidak dapat didaur ulang dibuang begitu saja ke laut dan akhirnya mencemari ekosistem laut. Ekosistem laut yang tidak sehat ini membuat banyak orang khawatir, terutama bagi para aktivis lingkungan dan pencinta makanan laut.
Tapi, apakah tindakan yang dilakukan sudah tepat? Apakah penggantian sedotan plastik menjadi sedotan kertas atau yang berbahan metal sudah tepat? Apakah plastik daur ulang adalah solusi penggunaan plastik yang tidak bisa dihindari?
Apa itu plastik?
Plastik (polimer) pertama kali dibuat untuk menggantikan gading gajah yang waktu itu sudah mengancam eksistensi gajah. Dengan menggunakan selulosa yang didapat dari serat kapas serta digabungkan dengan kapur barus, Hyatt menemukan plastik sintetik pertama. Penemuan Hyatt ini sangat revolusioner, karena sekarang barang yang diproduksi oleh manusia tidak harus didapatkan dari alam, seperti kayu, tanduk, tulang, besi, dan sebagainya. Manusia menciptakan plastik untuk menggantikan itu. Plastik juga berkembang sangat pesat terutama saat perang dunia II, dimana Amerika membuat prioritas untuk memproduksi barang dari plastik: parasut, helm, baju pelindung, dan masih banyak yang lain. Akibatnya, produksi plastik di Amerika saat itu naik 300% dan menjadikan Amerika sebagai pemenang perang.
Pada tahun 2018, ada sekitar 380 juta ton plastik yang diproduksi. Dengan perkiraan ada 6.8 miliar ton sampah plastik yang pernah diproduksi di seluruh dunia. 9% di antaranya didaur ulang, 12% dibakar. Produksi massal plastik ini tentu sangat mengkawatirkan. Pasalnya, berbagai penelitian telah dilakukan tentang dampak negatif dari plastik ini terhadap lingkungan.
Pada tahun 2012, diperkirakan ada 165 juta ton sampah plastik yang ada di laut. Dengan 8 juta ton plastik dibuang ke laut setiap tahunnya. Ikan dan plankton yang ada di laut tentu terancam keberadaanya akibat bahan karsinogenik yang dihasilkan dari sampah plastik. Sampah plastik yang ada di laut ini tidak hanya berakibat pada biota laut saja, melainkan juga manusia. Selagi kita masih mengkonsumsi produk laut, kita akan terkena dampak dari sampah plastik ini. Bahkan, studi tahun 2017 menunjukkan bahwa sekitar 83% sampel dari air keran di seluruh dunia mengandung sampah plastik. Masalah sampah plastik bukan hanya masalah lingkungan, tetapi masalah manusia.
Bagaimana cara menanggulangi masalah ini?
Berbagai kampanye untuk mengurangi pemakaian plastik telah dilakukan. Salah satunya adalah dengan mengganti sedotan plastik dengan sedotan kertas seperti yang banyak dilakukan di negara-negara Barat. Sedotan kertas ini dianggap lebih mudah terurai sehingga lebih ramah lingkungan dibanding sedotan plastik.
Meskipun demikian, seorang direktur sains lingkungan dan manajemen kesehatan publik di Baptist University, Chung Shan-shan mengatakan bahwa mengganti sedotan plastik dengan sedotan kertas tidak menyelesaikan masalah. Sedotan kertas butuh waktu lebih dari 180 hari pada suhu 50-60 derajat Celcius untuk terurai. Itupun masih belum terurai semuanya. Bahkan ada koran yang berada di tempat pembuangan kota besar yang tulisannya masih terbaca setelah 1-2 tahun. Sehingga tidak ada perbedaan berarti dari sedotan kertas dan sedotan plastik di perkotaan besar. Walaupun ketika kita menggunakan bahan paling ramah lingkungan sekalipun, selama itu masih sekali pakai, itu akan buruk bagi lingkungan, tutup Chung.
Di Indonesia sendiri ada kampanye untuk mengganti sedotan plastik dengan sedotan stainless steel. Ini sama seperti kampanye yang menyuruh mengganti kantong plastik sekali pakai dengan tas yang bisa dipakai berkali-kali. Padahal, untuk bisa berdampak pada lingkungan, tas tersebut harus digunakan setidaknya 104 kali dikarenakan energi dan material yang digunakan dalam pembuatan tas lebih besar dibanding kantong plastik. Bahkan, jika tas tersebut hanya digunakan sebanyak 54 kali, dampak buruknya lebih besar dibanding kantong plastik biasa. Hal itu seharusnya juga berlaku pada sedotan stainless steel yang membutuhkan energi serta material yang lebih besar dibanding sedotan plastik.
Lebih parah lagi, starbucks yang tidak ingin menggunakan sedotan plastik tapi mengganti desain cupnya dengan menambahkan plastik sehingga tidak mempengaruhi apapun. Jelas dengan berkata bahwa mereka tidak menggunakan sedotan plastik hanya membuat mereka merasa tidak begitu bersalah.
Menargetkan satu produk (sedotan plastik) merupakan penyelewengan dari tujuan awal kita terhadap pentingnya mengelola sampah plastik, kata Steve Rusell wakil presiden ACC (American Chemistry Council). Karena sampah plastik juga hanya menyumbang 0.025% dari sampah plastik yang dibuang ke laut. Walaupun, banyak yang mengatakan ini merupakan untuk langkah kecil untuk menyelamatkan lingkungan, bukankah kita seharusnya lebih fokus pada produk plastik yang memberikan dampak yang lebih besar terhadap lingkungan.
Pada kasus yang lain misalnya, beberapa perusahaan besar seperti Coca-cola, Nestle, dan Pepsi menetapkan target menggunakan plastik daur ulang untuk campuran kemasan produk-produknya. Hal ini tentunya disambut baik. Tapi, plastik daur ulang tetap tidak memecahkan masalah lingkungan kita. Dimulai dari keterbatasan untuk seberapa banyak bisa didaur ulang, digunakan, serta diterima oleh masyarakat. Belum lagi kerumitan dalam memilah sampah plastik dan proses daur ulang tersebut dikarenakan banyaknya tipe sampah plastik (polimer) yang membutuhkan suhu berbeda untuk meleburnya. Terakhir harga untuk daur ulang sering kali tidak bersaing dengan membuat plastik baru. Ketika harga minyak sedang turun, tentu lebih menguntungkan untuk membuat baru dibanding mendaur ulang.
Trus solusi apa yang tepat?
Selain membersihkan lingkungan kita dari sampah plastik yang terus menumpuk, salah satu cara melawan polusi sampah plastik adalah dengan mengurangi penggunaanya. Hal ini harus bermula dari mindset masyarakat yang benar serta pengetahuan dan awareness terhadap sampah plastik. Edukasi tentang penggunaan dan bahaya plastik mutlak diperlukan sebagai langkah awal menganggulangi masalah ini.
Kedua, bisa dimulai dengan langkah kongkrit. Dibanding mengganti sedotan plastik dengan alternatif lain, kenapa tidak mulai minum langsung dari gelas? Tentu ada beberapa minuman yang lebih enak jika diminum menggunakan sedotan (ice bubble) tetapi, kita bisa tidak menggunakan sedotan sampai benar-benar diperlukan. Bahkan, ada beberapa produk plastik yang sebenarnya bisa kita tidak gunakan sama sekali. Kemudian, menggunakan plastik secara berulang-ulang dapat menekan efek lingkungan yang ditimbulkannya. Kantong plastik yang kita dapat dari toko perbelanjaan juga bisa kita bawa untuk kembali digunakan saat kita pergi berbelanja. Tidak ada yang mengharuskan anda membawa tas dan bukannya kantong plastik.
Jadi, sebenarnya ada tiga hal yang bisa kita simpulkan dalam kasus ini, yaitu educate, reuse, and reduce. Beberapa sumber menambahkan recycle ke dalam daftar. Tetapi, seperti yang sudah saya katakan di atas, kadangkala recycle bukan solusi yang tepat untuk meminimalkan efek lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah plastik.
Catatan Kaki:
https://www.nationalgeographic.com/environment/2018/07/news-plastic-drinking-straw-history-ban/
https://www.nbcnews.com/news/us-news/banning-plastic-straws-will-not-be-enough-fight-clean-oceans-n951141
https://rubbishwhisperer.co.nz/blogs/news/plastic-pla-paper-and-steel-straws-what-is-the-real-difference
https://m.yp.scmp.com/news/features/article/110583/are-paper-straws-really-better-environment-plastic-ones?amp=1
https://newsroom.domtar.com/paper-drinking-straws/
https://www.asiaone.com/singapore/metal-straws-and-reusable-bags-may-not-be-eco-friendly-you-think
https://id.wikipedia.org/wiki/Plastik
https://en.wikipedia.org/wiki/Plastic#Bisphenol_A_(BPA)
https://en.wikipedia.org/wiki/Plastic_pollution#Effects_on_the_environment
https://www.sciencehistory.org/the-history-and-future-of-plastics
https://mitte.co/2018/07/18/truth-recycling-plastic/
https://www.dezeen.com/2018/09/27/the-rising-use-of-recycled-plastic-in-design-is-bullshit-says-jan-boelen/
https://solarimpulse.com/plastic-pollution-solutions
Comments
Post a Comment