Media Penggiring Opin
Halo,
balik lagi bersama gue Willy. Kali ini gue akan bahas tentang bagaimana peran
media dalam menggiring opini masyarakat. Seperti yang kita tahu, sekarang kan
udah mulai masa kampanye. Para elite politik udah mulai main media untuk
menggiring opini masyarakat. Tapi lo pernah bertanya-tanya ga sih seberapa jauh
peran media ini menggiring opini masyarakat? Nah kali ini gue akan coba
mengkaji hal itu. Simak terus pembahasan gue ya!
Dalam politik, penting untuk bisa
membawa opini masyarakat. Maka dari itu, banyak politikus yang punya medianya
sendiri. Seperti yang kita tahu, media-media yang sering kita lihat merupakan
milik politikus. Sebut saja Hanry Tanoe, Surya Paloh, Aburizal Bakrie yang
punya Metro TV, RCTI, Global TV, MNC, TV ONE, ANTV, dan masih banyak lagi.
Betapa sulitnya kita untuk mendapatkan berita dari media yang bukan milik
politikus. Tapi kenapa sih banyak politikus yang punya media? Apa untungnya
bagi mereka?
Nah seperti yang udah gue singgung di atas, media ini sangat berperan dalam menggiring opini masyarakat. Saat masa pemilu seperti sekarang ini, banyak politikus yang menjadikan medianya sebagai tempat promosi dan juga tempat untuk membela diri. Banyak juga dari mereka yang menjadikan media untuk menaggung-agungkan kandidat yang dia usung dan menyebarkan berita jelek (negative campaign) pada lawannya. Maka dari itu, media merupakan alat yang krusial dalam penentu momentum politik seperti sekarang ini.
Nah seperti yang udah gue singgung di atas, media ini sangat berperan dalam menggiring opini masyarakat. Saat masa pemilu seperti sekarang ini, banyak politikus yang menjadikan medianya sebagai tempat promosi dan juga tempat untuk membela diri. Banyak juga dari mereka yang menjadikan media untuk menaggung-agungkan kandidat yang dia usung dan menyebarkan berita jelek (negative campaign) pada lawannya. Maka dari itu, media merupakan alat yang krusial dalam penentu momentum politik seperti sekarang ini.
Gambar di atas menunjukkan bahwa
media bisa memotong suatu berita menjadi apa yang mereka inginkan tanpa
menjadikan berita tersebut sebagai hoaks. TInggal potong saja bagian yang
diinginkan, lalu susun sesuai dengan opini yang ingin kita buat. Begitulah
kira-kira yang dilakukan media dalam memanipulasi berita. Media tersebut tidak
akan dijerat UU ITE tentang penyebaran berita bohong, karena media hanya
‘mengemas’ berita tersebut dengan sedikit berbeda. Tapi, bagaimana masyarakat
bisa ‘tertipu’ dengan media? Ada 2 alasan
utama dalam menjawab hal itu: kurangnya literasi dan ketidakmampuan membedakan
fakta dan opini.
1. Kurangnya
Literasi
Hasil
penelitian Programme for International
Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia
pada tahun 2012 berada para urutan 64 dari 65 negara. Vietnam negara tetangga
kita, berada pada posisi 20 besar. Data statistic UNESCO 2012 juga menyebut
indeks minat di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1000 penduduk,
hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Hal ini diperburuk dengan angka
UNDP yang menyebut angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5% saja. Jauh di bawah Malaysia yang sudah 86,4%.
Dari
data di atas saja kita seharusnya sudah menyadari betapa ketinggalannya negara
kita dalam hal membaca. Kenapa membaca penting? Karena satu sumber saja gak
cukup. Kita harus membandingkan berita yang kita dapat dengan sumber lain.
Sehingga kita bisa menarik kesimpulan yang lebih objektif. Dengan begitu, akan
lebih sulit bagi kita untuk tertipu dengan trik media.
Trus
gimana cara ningkatin literasi masyarakat Indonesia? Banyak artikel lain yang
ngebahas pertanyaan itu. Tapi menurut gue, cara ningkatin literasi masyarakat
Indonesia itu dimulai dari lo. Baca buku yang lo suka dan jadiin itu sebagai
kebiasaan. Udah sesimpel itu. Kalau gerakan seperti ini mulai jalan maka
lingkungan sekitar kita juga akan mengikuti. Dengan begitu budaya literasi yang
sering dicanangkan oleh pemerintah bisa tercapai. Walaupun gak segampang itu,
kalau lo aja gak mulai baca buku, tingkat literasi kita akan segitu-segitu aja.
2. Ketidakmampuan
membedakan opini dan fakta
Walaupun
kemampuan untuk membedakan opini dan fakta sering dipinggirkan, menurut gue
kemampuan ini penting banget. Buktinya di SMP kita udah ada kurikulum akan hal
ini. Walaupun ada pelajarannya, tapi menurut gue masih banyak aja orang yang
masih belum bisa bedain mana opini dan mana fakta. Gampangnya, Opini itu
subjektif dan fakta itu objektif. Opini itu akan berbeda setiap orang yang
memandang sedangkan, fakta itu akan selalu benar siapapun yang memandang.
Contohnya: tulisan ini bermanfaat. Opini atau fakta? Jawabannya itu opini.
Menurut gue sebagai penulis tulisan ini bermanfaat, makanya gue publish. Tapi
buat lo sebagai pembaca, mungkin aja baca artikel ini lo pandang sebagai
buang-buang waktu karena apa yang gue sampaikan disini lo udah tau sehingga gak
bermanfaat buat lo. Maka dari itu pernyataan tadi itu akan berbeda bagi setiap
orang yang memandang. Makanya gue kategorikan sebagai opini.
Nah,
kalau lo udah tau kenapa kita bisa termakan oleh ‘trik’ media, kita bisa jadi
lebih berhati-hati dan bisa menyusun langkah preventif agar gak kemakan ‘trik’
media itu. Karena kalau kita sampai kemakan sama media, pikiran kita bakal jadi
sempit. Pandangan kita cuma terbatas pada pandangan media. Kalau udah gitu kan
kehidupan bermasyarakat kita jadi gak sehat. Kalau kita udah bisa menyaring
mana yang trik media mana yang bukan, akhirnya kita bisa jadi objektif dalam
menilai suatu kejadian.
Jadi
segitu aja artikel kali ini, semoga apa yang gue tulis ini bisa bermanfaat bagi
lo dan kedepannya bisa lo terapkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Bye.
Comments
Post a Comment